" Inilah yang kita tahu, segala benda itu menyatu,
seperti hubungan
darah mengikat seluruh keluarga. Yang terjadi pada bumi, terjadi juga
pada semua penghuni; Manusia tidak merajut jaring kehidupan, ia hanya
secarik benang yang ada padanya; apapun yang ia lakukan pada jaring itu
akan mengena pada dirinya" ( The Web of Life, F. Capra)
Sekarang kita
sedang berada di tengah kiris global serius, yang menyentuh semua aspek
kehidupan. Kita dibelit krisis kesehatan, ekologi, hubungan social,
ekonomi, politik yang intensitas maupun luas cakupannya belum
pernah ditemukan sebelumnya dalam catatan sejarah manusia.
Semakin dalam
kita pelajari, semakin kita sadari bahwa masalah-masalah utama zaman kita tidak
bisa dimengerti secara terpisah-pisah. Masalah-masalah tersebut bersifat
sistemik, artinya semua saling terkait satu sama lain. Dengan demikian, harus
dilihat sebagai aspek-aspek yang berbeda dari sebuah krisis tunggal, yakni
krisis persepsi.
Satu-satunya
cara untuk keluar dari kemelut ini adalah melakukan perubahan radikal dalam
persepsi, pemikiran, dan nilai-nilai yang kita anut. Kita harus berani
mengoreksi dan mengganti cara pandang yang using dan mencari
cara pandang yang lebih tepat. Fritjof Capra dalam empat karya
utamanya: The Too of Physic, The Turning Point, The Uncommon Wisdom dan The Web
of Life, memang menawarkan suatu visi baru kehidupan.
“Pada awal dua
dasawarsa terakhir abad keduapuluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu
krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks multidimensional yang
sei-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian,
kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis
ini terjadi dalam dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang
belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia” (Fritjof
Capra)
Pengalaman mengenai
ketidakstabilan kritis yang menuju kemunculan baru (boleh dibaca; keteraturan)
biasanya melibatkan emosi-emosi keras, seperti ketakutan, kebingungan, keraguan
atau rasa sakit yang menghasilkan krisis eksistensi. Capra menyertai
pendapatnya itu, dengan pengalaman komunitas kecil ahli fisika kuantum pada
1920-an, ketika melakukan penelitian atomik dan sub-atomik. Dalam penelitian
tersebut, konsep-konsep dasar dan seluruh jalan pikiran mereka mengalami
ketegangan dan krisis yang berkepanjangan, hingga Werner Heinsenberg (salah
satu diantaranya) berujar; mungkinkah alam memang begitu absurdnya
seperti yang terlihat oleh kita pada eksperimen-eksperimen atomik ini?
Namun usaha itu terus menerus mereka lakukan
dengan proses evaluasi yang jujur, hingga berhasil meretas wawasan mengenai
hakikat ruang, waktu dan materi serta garis-garis besar paradigma ilmiah baru.
Sebuah golden goal, manis dan luar biasa. Tapi perlu dipahami bahwa, gerak
perubahan atas pengalaman ketegangan dan krisis, tidak serta merta berarti
keteraturan baru sebagaimana perjuangan ahli fisika di atas.
The Tao of Physics
Fritjof Capra: Para
Sufi Memahami Akar Akar TAO Tetapi Tidak Ranting Rantingnya;
Para Fisikawan Memahami Ranting Rantingnya Namun Bukan Akar Akarnya.
Sains Tidak Membutuhkan Mistisisme Dan Mistisisme Tidak Membutuhkan Sains,
Tetapi Manusia Membutuhkan Keduanya.
Ketertarikan
Capra terhadap dunia mistisisme Timur semakin meningkat sejalan dengan
kegelisahannya terhadap krisis global yang menyentuh setiap aspek kehidupan.
Krisis ekologis, kesenjangan sosial, ekonomi, teknologi, politik, intelektual,
moral, dan spritual merupakan sebagian dari contoh-contoh krisis yang
belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Krisis-krisis itu
seakan-akan mengancam ras manusia yang hidup di atas planet ini. (Jurnal
Ilmiah: Saleh Daulay)
Dunia yang
dihuni manusia seolah terasa makin tak ramah. Gejolak krisis multidimensi
sedang melanda dunia. Hal ini memaksa manusia untuk kembali berefleksi di ruang
hening. Beragam krisis dari ekonomi, ekologi, politik, pendidikan, kesehatan,
ancaman peperangan, dan terorisme, serta lainnya memunculkan pertanyaan
mendasar: “why” (kenapa) dan ada apa dengan dunia yang kita diami?
Menurut Capra,
munculnya berbagai krisis global tersebut berawal dari kesalahan cara pandang
dunia manusia modern. Pandangan dunia (world-view) yang
dipakai selama ini adalah pandangan dunia mekanistik-linear Cartesian dan
Newtonian. Di satu sisi, cara pandang ini telah berhasil mengembangkan sains
dan teknologi yang memudahkan manusia, namun di sisi lain mereduksi
kompleksitas dan kekayaan hidup manusia itu sendiri. Pandangan mekanistik
terhadap alam telah melahirkan pencemaran udara, air, dan tanah yang tentu saja
mengancam kehidupan manusia. Penekanan yang berlebihan pada metode ilmiah
eksprimental dan rasional analitis telah menimbulkan sikap anti ekologis.
Menurut Capra,
kesejajaran dan keparalelan antara fisika kontemporer dan mistisisme Timur merupakan
basis fundamental dalam membentuk paradigma holistiknya. Meskipun demikian, ia
mengakui bahwa upaya untuk menjembatani pemikiran rasional-analitis
dengan pengalaman meditatif-mistis memang sulit untuk dilakukan. Namun
interaksi saintis modern dengan mistisisme Timur merupakan suatu solusi
alternatif yang dapat ditawarkan dalam menyelesaikan berbagai krisis global
yang menimpa umat manusia belakangan ini.
Menurut Capra,
tatanan peradaban dunia saat ini mengalami krisis dikarenakan adanya
benturan-benturan dalam berbagai dimensi kehidupan seperti sosial, ekonomi,
politik, sains dan teknologi, militer, dan lain-lain. Ancaman perang nuklir
merupakan bahasa terbesar yang dihadapi oleh umat manusia saat ini. Semua orang
menyadari bahwa kekuatan nuklir itu tidak aman, tidak bersih, dan tidak murah,
tetapi mereka tetap saja berlomba-lomba untuk membangun reaktor nulir di
mana-mana. Fenomena itu tentu saja menjadi ancaman utama bagi eksistensi
manusia di planet ini.
Capra mencoba
memetakan problematika sains modern dengan cara menyingkap relasi konsep-konsep
dasar fisika modern dengan tradisi-tradisi serta kearifan Timur. Dalam buku
itu, Capra memperlihatkan bagaimana kedua tradisi fisika abad ke-20 teori
kuantum dan teori relativitas yang kedua-duanya memaksa kita untuk memandang
dunia seperti dalam cara pandang penganut Hindu, Budha, dan Taoisme.
Dengan kepiawaiannya, Capra berhasil membawa kita pada suatu pendapat yang sama
tentang adanya nuansa paralel antara fisika modern dengan mistisisme
Timur. Menurutnya, pandangan dunia Timur juga merupakan pandangan dunia
fisika modern. Pandangan-pandangan tersebut mengusung satu gagasan bahwa
pemikiran Timur dan pemikiran mistik pada umumnya memberikan sebuah latar
belakang filosofis yang konsisten dan relevan dengan teori-teori sains
kontemporer. Dengan demikian, fisika modern telah melangkah di luar wilayah
teknologi, bahwa jalan fisika atau Tao dapat menjadi
sebuah jalan setapak yang memiliki nurani, sebuah jalan menuju pengetahun
spiritual dan penyadaran diri
Modernisme
dengan coraknya yang rasional dan materialistik masuk dalam sejarah kehidupan
manusia dengan segudang janji-janji tentang kemajuan, kebebasan, persamaan dan
humanisme. Tetapi pada akhirnya, modernisme justru didakwa telah mengakibatkan
berbagai krisis multidimensi yang disebabkan oleh cara berpikir yang
materialistik-mekanik yang melihat dunia hanyalah sebagai obyek perlakuan
dengan memecah-mecahnya menjadi bagian-bagian yang terpisah.
The
turning point, titik balik kehidupan
Kuatnya arus
globalisasi yang melanda seluruh dunia, memberikan tantangan tersendiri
terhadap pengokohan moral dalam kehidupan. Apalagi pada kondisi dimana dunia
tengah menyaksikan adanya krisis kemanusiaan.
Fritjof
Capra menyatakan, “Pada awal dua dasawarsa terakhir abad keduapuluh, kita
menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu
krisis kompleks multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek
kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan
sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis ini terjadi dalam dimensi
intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi
sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia”
Peradaban yang
modern menghasilkan kehidupan baru yang maju berkat ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tetapi di pihak lain juga mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan
yang besar. Kapitalisme menimbulkan kesengsaraan bagi para buruh dan petani,
sedangkan imperialisme dan kolonialisme menyebabkan penderitaan yang parah
sekali bagi bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
Life and Leadership: A system Approach
One
of the foremost signs of present-day society is the presence of massively
complex systems that increasingly permeate almost every aspect of our lives.
The amazement we feel in contemplating the wonders of industrial and
informational technologies is tinged by a sense of uneasiness, if not outright
discomfort. Though these complex systems continue to be hailed for their increasing
sophistication, there is a growing recognition that they have brought with them
a business and organizational environment that is almost unrecognizable from
the perspective of traditional management theory and practice.
In
summary, the new understanding of life implies the following four lessons for
the management of human organizations.
Lesson #1
A living social system
is a self-generating network of communications. The aliveness of an
organization resides in its informal networks, or communities of practice.
Bringing life into human organizations means empowering their communities of
practice.
Lesson #2
You can never direct a
social system; you can only disturb it. A living network chooses which
disturbances to notice and how to respond. A message will get through to people
in a community of practice when it is meaningful to them.
Lesson #3
The creativity and
adaptability of life expresses itself through the spontaneous emergence of
novelty at critical points of instability. Every human organization contains
both designed and emergent structures. The challenge is to find the right
balance between the creativity of emergence and the stability of design.
Lesson #4
In addition to holding a
clear vision, leadership involves facilitating the emergence of novelty by
building and nurturing networks of communications; creating a learning culture
in which questioning is encouraged and innovation is rewarded; creating a
climate of trust and mutual support; and recognizing viable novelty when it
emerges, while allowing the freedom to make mistakes.
Penutup
Pemikiran Capra
yang dikemukakan di atas paling tidak akan mengingatkan kita agar tidak
terjerumus pada krisis persepsi dalam menghadapi kompetisi global yang semakin
hari semakin gencar. Di samping itu, wacana yang dilontarkan Capra dapat pula
membentengi kita agar selalu waspada terhadap krisis spritual yang banyak
menimpa manusia modern di abad ini. Capra memperlihatkan bahwa kehidupan harus
dipandang bukan lagi secara mekanistik melainkan secara ekologis-sistemik.
Tentang buku:
Penerbit: PPM
ISBN: 979-442-132-4
Bahasa: Indonesia
Judul Buku: Visi Baru Kehidupan