Selasa, 02 Agustus 2011

FRAGMENTASI HABITAT

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Fragmentasi Habitat Dan Biologi Konservasi
Fragmentasi habitat merupakan bagian dari biologi konservasi. Secara pengertian biologi konservasi berarti Ilmu yang bertujuan untuk mengatasi krisis biodiversitas (Keanekaragaman Hayati), yaitu penurunan keragaman kehidupan di bumi yang saat ini berjalan sangat cepat. Sedangkan Fragmentasi habitat ialah proses perubahan lingkungan yang berperan penting dalam ekologi dan konservasi pada tempat tinggal makhluk hidup dan berkembang biak.
Maka dapat disimpulkan jika Fragmentasi ialah proses dari perubahan lingkungan dan biologi konservasi adalah bagian dari cara mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh fragmentasi itu sendiri. Berikut contoh kasus dari fragmentasi habitat: Sebagian kawasan hutan di negara berkembang terutama di daerah tropis mengalami perubahan fungsi sehingga menjadi areal perternakan, pertanian, dan daerah pengembangan kota sejak beberapa dekade yang lalu. Akibatnya, hutan yang awalnya utuh kemudian menjadi kelompok-kelompok kecil kawasan hutan. Proses terbentuknya kelompok kecil kawasan hutan tersebut dapat dikategorikan sebagai fragmentasi habitat.
Sedangkan Salah satu contoh, pendekatan biologi konservasi yang sudah berhasil di lakukan adalah studi kasus penyu laut di Brasil. Berawal dari kegelisahan penurunan populasi penyu laut mencapai 1% dari jumlah semula. Penurunan ini disebabkan oleh berbagai faktor, rusaknya habitat karena pengembangan pantai, penangkapan telur penyu untuk makanan, tersangkut alat penangkap ikan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Brasil merancang program konservasi penyu laut. Program konservasi ini merupakan kajian lintas disiplin ilmu. Artinya dalam pelaksanaan program ini, menggunakan berbagai pendekatan bidang. Konservasi penyu laut ini, di awali dengan harus mengetahui habitat. Untuk mengetahui habitat penyu ini, tidaklah mudah karena harus menyusur sepanjang garis pantai Brasil.  Tahun 1980 pemerintah menetapkan  program  konservasi penyu laut, dengan menamakannya “TAMAR”. Untuk mempelancar jalannya program ini, banyak melibatkan berbagai kalangan, akademisi dan penduduk lokal.
Data awal berupa habitat penyu laut di sepanjang garis pantai Brasil, sangatlah berkontribusi bagi program konsevasi penyu ini. Hal ini dapat diketahui dari pada tahun 1986 penyu laut ditetapkan sebagai hewan yang dilindungi, serta mendorong pembentukan dua cagar biologi dan taman nasional laut guna untuk melindungi telur-telur penyu. Keuntungan proyek TAMAR, tidak hanya dinikmati oleh penyu laut saja tapi juga penduduk lokal karena sebagian besar pegawai dari proyek ini adalah penduduk lokal setempat. Pegawai proyek ini mendapat gaji dari pemerintah dan industri pariswisata, sehingga kemudian mereka menjadi pembela utam bagi penyu laut.
 Dari contoh di atas menggambarkan betapa pentingya biologi konservasi. Karena biologi konservasi merupakan ilmu terapan yang berasal dari multidisiplin ilmu mengenai pengelolaan sumber  daya alam. Ilmu kehutanan, pertanian, perikanan, dan pengelolaan satwa liar, masuk dalam biologi konservasi.  Bahkan ilmu-ilmu sosial ikut andil dalam biologi konservasi, misalnya; antropologi,sosiologi dan geografi. Dalam penerapanya biologi konservasi memilki tugas merespon, mengelola, keanekargaman hayati di bumi dan bahkan mengembalikan yang telah hilang. Tolok ukur dari suksesnya biologi konservasi adalah ketika yakin dapat menyatakan suatu spesies dan komunitas biologi telah terlindungi dan dapat pulih kembali sesuai lintas disiplin ilmu biologi konservasi.

B.      Penyebab Fragmentasi Habitat
Fragmentasi habitat dapat disebabkan oleh proses-proses geologis yang secara perlahan mengubah tata letak lingkungan maupun oleh aktivitas manusia yang dapat mengubah lingkungan secara cepat.
Proses-proses geologi yang dimaksud adalah seperti tanah longsor, gempa bumi, banjir dan letusan gunung berapi dll, yang dapat membahayakan lingkungan sekitarnya.
Sedangkan aktivitas manusia telah terjadi sejak tahun 1950-an, masalah lingkungan telah mendapat perhatian masyarakat pada saat itu, yang dipicu oleh terjadinya pencemaran limbah industri dan pertambangan serta pestisida oleh air raksa (Hg) dan cadmium (Cd) dari limbah industri di Jepang. Pencemaran tersebut telah menyebabkan penyakit minamata akibat mengkonsumsi ikan yang ditangkap diteluk Minamata yang tercemar Hg, dan penyakit ital-ital akibat mengkonsumsi beras dari lahan sawah di Jepang yang tercemar Cd.
 Tahun 1969 masyarakat Amerika telah bereaksi menentang terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan aktivitas manusia. Reaksi ini mencapai keadaan ekstrim sampai menimbulkan sikap yang menentang pembangunan dan penggunaan teknologi tinggi. Para aktivis lingkungan menjadi lawan bagi perencana pembangunan pada masa itu. Akhirnya di Amerika muncul AMDAL sebagai syarat mutlak izin mendirikan pembangunan dengan penggunaan teknologi canggih, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai penentang atau penghambat pembangunan. Ironisnya karena persyaratan AMDAL cukup berat akhirnya negara maju berupaya memindahkan penanaman modalnya dalam Industri teknologi tinggi ke negara yang sedang berkembang. Negara berkembang memang membutuhkan pembangtunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan belum banyak menyadari kerusakan lingkungan sebagai dampak dari pembangunan tersebut (terutama kerusakan lingkungan Amosfir dan Tanah serta Air).

C.      Fragmentasi Habitat Sebagai Dampak Dari Aktifitas Manusia
Salah satu contoh fragmentasi habitat adalah menurunnya populasi harimau sumatera. Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis) di habitat alaminya secara menyeluruh belum diketahui secara tepat, namun dapat dipastikan bahwa populasinya saat ini sudah dalam kondisi sangat kritis. Tahun 1994 diperkirakan populasi harimau sumatera yang hidup liar hanya 500-600 ekor saja dan itupun hidup tersebar dalam populasi-populasi kecil di Dalam Kawasan Konservasi dan di Luar Kawasan Konservasi. Sementara itu Direktorat Jederal PHKA memeperkirakan setiap tahunnya 30 ekor harimau sumatera mati akibat perburuan. Kondisi seperti ini apabila tidak ditangani secara serius dan intensif dapat dipastikan bahwa populasi harimau sumatera di alam akan menurun secara cepat dan dalam waktu yang tidak lama akan punah seperti yang telah terjadi pada harimau Bali, Kaspia dan harimau Jawa yang sudah dianggap punah.
Menurut catatan yang ada pada tahun 1800 – 1900 jumlah Harimau Sumatera masih sangat banyak, mencapai ribuan ekor. Pada tahun 1978, dari suatu survei diperkirakan jumlah Harimau Sumatera adalah sekitar 1000 ekor. Setelah itu Sumatera mengalami perkembangan yang sangat pesat antara lain di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan serta pembangunan pemukiman dan industri. Akibatnya habitat Harimau Sumatera semakin menurun yang otomatis berakibat pula pada populasinya. Diperkirakan saat ini populasi harimau di Sumatera sekitar 500 ekor, yang tersebar di kawasan konservasi utama 400 ekor dan di luar kawasan konservasi 100 ekor hidup.
Dari data yang ada terlihat adanya pengurangan jumlah Harimau Sumatera sebanyak kurang lebih 33 ekor per tahun. Dengan kondisi seperti ini maka apabila tidak dilakukan pengelolaan yang intensif harimau sumatera diperkirakan akan mengalami kepunahan dalam waktu sepuluh tahun mendatang.
Hasil survey dan monitoring populasi menggunakan kamera inframerah yang dilakukan dibebarapa habitat penting harimau diperoleh data populasi sebagai berikut :
·         Di Taman Nasional Way Kambas: 43-46 ekor, telah terpotret 44 individu,
·         Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh: 23-26 ekor, telah terpotret 7 individu
Di Kawasan Hutan Senepis-Buluhala: 11-14 ekor, telah terpotret, 9 individu  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar